— Rimba Raya

star💫
3 min readApr 13, 2024

--

Semisal pantas Raya merayakan hari ulang tahunnya yang ke-25 tahun ini, Raya ingin memberikan dirinya sebuah hadiah seorang teman yang di sampingnya, ia dapat mengutarakan seluruh perasaannya yang tak pernah sekalipun ia luapkan.

Bisa Raya mengadu jika hari ini dirinya digigit nyamuk sampai bentol, tanpa perlu merasa sungkan akan mengganggu.

Bisa Raya bertanya bagaimana caranya mengakses dunia tempat Ibu dan ayahnya berada sekarang, tanpa takut orang lain akan menertawakannya seperti ia adalah orang bodoh.

Raya begitu kesepian.

Raya seharusnya seluas arti namanya dalam mendapatkan sesuatu.

Tapi siapa Raya dapat muluk-muluk meminta pada Tuhan-nya yang jarang dirinya sapa itu?

Benar kata teman kantornya selusin hari yang lalu, “apa sih yang kamu harapkan dari umur 25, Ray? Yang tersisa dari diri kita cuma cari uang sampai mati.”

Mungkin memang Raya sepantasnya tidak mengharapkan apa-apa. Dia sudah sendirian sejak lama, seorang teman mungkin hanya akan membuat dirinya canggung berlebihan karena tidak pernah betul-betul mempunyainya.

Tapi Kamis ini, tepat sehari setelah hari ulang tahunnya yang betul-betul tidak ia rayakan itu, Raya mendapati dirinya menemukan seseorang di balik pintunya yang bilang jika dirinya tinggal di samping tempat tinggalnya. “Hai Raya, saya Rimba. Ibuk kost yang bilang tetangga baru saya namanya Raya. Salam kenal, ya, Raya, semoga kita bisa jadi teman.”

Rimba, kamu ini kado saya dari Tuhan, ya? Kenapa kamu bisa berdiri di sini? Tuhan bilang, ya, sama kamu, kalau saya masih pantas dapat kado meski saya gak jadi merayakan ulang tahun?

Sebelum Raya menemukan seseorang di balik pintu kostnya yang berakhir jadi temannya, Raya berpikir, laki-laki itu, si Rimba Hutan yang Raya telah jadikan nama panggilannya karena kegemarannya keluar-masuk hutan pedalaman Kalimantan, akan tetap menjadi orang asing yang kebetulan mengetuk pintunya sambil bawa secuil rendang—yang katanya dimasak bundonya hampir sembilan jam.

Tapi saat itu Raya memang begitu kesepian.

Ketukan Rimba juga nyatanya tidak berakhir sekali untuk menawarkan dua potong rendang empuk yang enak dan Raya tangisi diam-diam. Lelaki itu keesokan harinya kembali berdiri di depan pintunya, mngetuk dua kali ketika Raya tengah menyelesaikan tugas kantornya. "Raya, ini Rimba. Kamu punya perkakas, gak? Kok keran air saya bocor ya."

Lalu dua hari setelahnya, di depan pintu Raya, hampir jam 10 malam, dengan tas besar seakan lelaki itu akan kembali hengkang dari kost ini bahkan sebelum genap seminggu, Rimba mengetuk pintunya dua kali. “Raya, ini Rimba. Saya mau titip kunci, ada acara kampus dan kayaknya gak akan pulang buat seminggu ke depan.”

Ketukan itu kembali lagi seminggu kemudian, sebulan setelahnya, setahun setelahnya lagi. Dan Raya, yang betul-betul tidak bergaul dengan siapapun di tempat ini, begitu familiar dengan dua ketukan yang dihadiahkan oleh Rimba tiap harinya.

“Kamu tuh gak punya teman yang bisa diganggu selain saya ya?”

“Lho, saya kira kamu yang gak punya teman karena selalu available setiap saya ngetuk pintu kamu. Makanya saya keenakan gangguin kamu.”

“Rimba, dengar, saya tuh bukan cowok, saya gak punya perkakas buat benerin dapur atau keran atau wastafel—saya laporan ke Ibuk. Saya bukan pengangguran yang bisa kamu titipin kunci kalau kamu lagi hilang entah ke pedalaman mana di pulau mana. Saya gak selalu punya waktu buat ladenin semua ketukan kamu.”

Rimba seharusnya kesal saat itu karena raya memang bukan orang ramah yang membalas ucapannya dengan sopan santun—mungkin itu yang membuat Raya jadi terbatasi dan berakhir tidak pernah punya teman. Tapi Rimba hanya menatapnya dengan wajah geli. “Tapi kamu memang selalu ngeladenin saya,” begitu balasnya.

--

--