How Did It End?: Sewindu

star💫
5 min readApr 20, 2024

--

Dalam kurun waktu yang cukup lama ini, semua isi kepala yang bermuatan tentangmu telah hilang dimakan usangnya waktu. Namamu rasanya juga telah asing, dan otak akan sejenak memproses yang mana satu orangnya? ketika siapa pun membahas tentangmu. Namun, manakala mata menemukan sekelebat wajahmu pada belakang tumpukan-tumpukan kardus yang tersimpan acak di unit sebelah apartemenku, berbondong-bondong memoriku menyetel ulang apa yang dapat ia sajikan.

image from pinterest (anggep aja ada kardus wkw)

It’s him, kataku yang menghentikan langkah dalam keadaan bodoh.

Kemarin kuingat, kardus-kardus itu memang berserakan di tempat aku melihatmu hari ini, tapi keadaan lelah seusai 9 to 5 dan siapa yang mau mengurusi urusan siapa, tak membuatku ingin tahu apa yang terjadi pada unit tetanggaku itu. Nyatanya itu kamu. Kenapa harus kamu yang ada di sana?

Berapa lama aku tidak melihatmu? tanyaku lagi. Lima, enam, tujuh … sewindu. Kayak lagu Tulus, seringai geli itu tiba-tiba muncul di wajahku.

Tapi aku tidak mengurusi tentangmu lagi. Hari itu aku langsung menekan digit angka yang jadi sandi unitku, dan segera melakukan segala kegiatan yang telah jadi rutinitasku setelah pindah ke tempat ini. Dan semua tentangmu memang sudah tertinggal sewindu yang lalu. Tapi rasa sakit itu yang paling nyata, kataku sembari melucuti baju kerjaku yang telah apek terkena panasnya Jakarta, ke mesin cuci.

Hari itu kembali berlalu bagaikan aku tidak kembali melihatmu setelah waktu yang lama itu. Aku mandi, menggosok gigi, pakai skincare, rebahan dengan tab di tangan — sambil mengurusi pekerjaan yang belum usai, lalu menonton netflix sampai ketiduran. Aku sudah setel alarm! Tidak ada waktu untuk terlambat masuk kerja besok.

Setelah sekilas kamu terlihat oleh mataku lagi, waktu berlalu begitu saja sesuai dengan apa yang kuharapkan. Sehari setelah kamu hadir, aku masih mengecek pintu unitmu yang tertutup rapat; bagaimana kiranya waktu kerjamu? pikirku saat itu. Seminggu setelah kamu hadir, aku mulai dihadapkan dengan tugas kantor karena sedang sibuk-sibuknya, dan mataku tidak ada waktu untuk tengok kanan-kiri di lorong apartemen kita. Sebulan setelah kamu hadir, aku sudah lupa kalau kamu sebulan lalu muncul di balik tumpukan kardus di samping unitku.

Tapi satu yang pernah muncul di otakku, tiga hari sebelum satu bulan kamu hadir kembali; bagaimana bisa Tuhan bisa begitu mudah merangkai skenario setiap ciptaannya, dan tidak pernah salah menaruhnya pada setiap wadah? Atau punyaku ternyata tertukar dengan orang yang pernah hadir juga di hidupmu? Jadi aku yang gantikan dia menjalani takdir bertemu kamu lagi?

Bukan salahku berpikir begitu, karena dulu, kamu adalah orang terakhir yang ingin aku temui di dunia ini.

Aku betul-betul telah lupa akan kehadiran kamu di unit samping milikku.

“Nad … NAD!” Namaku diserukan dengan keras. Rima. Fokusku kembali pada dunia nyata. Beberapa kejadian lampau terkadang menjadikanku hilang fokus ketika mengerjakan sesuatu hingga saat ini. Seperti siang ini, saat aku dan beberapa temanku hendak mencari makan siang di dekat kantor tempat kami bekerja. “Diajak ngomong juga dari tadi, malah bengong!” Rima melanjutkan ucapannya.

Sorry, sorry, Rim. Biasa, memang suka reconnect gitu otak gue. Kenapa?”

“Itu Jemmy, tadi tanya kita mau makan apa, tapi udah keburu melipir anaknya ke soto lamongan Bu Endah. Nggak papa kan, kita makan siang di sana?”

Rima sayangku, keputusan sudah diambil. Bagaimana aku bisa menolaknya? Apa yang akan terjadi pada Kak Jemima dan Sahil jika aku bilang aku mau pesan udon saja dan ogah makan soto? Kalimat “lu gila ya” dengan nada naik bisa kupastikan melayang di depan mukaku dan tangan Bu Endah yang siap mengaduk panci besar kuah sotonya. “Iya, santai. Udah lama juga nggak sih, kita gak makan di sini?”

Rima hanya mengangguk, menyetujui ucapanku. Kakinya sudah terhipnotis dengan harumnya kuah kuning bertabur bawang goreng yang baru saja ditabur oleh Bu Endah. Saking lamanya aku lepas dari diriku, Bu Endah bahkan telah menyajikan dua porsi hangat soto lamongan untuk Kak Jemima dan Sahil.

“Bu Endah!” sapaku riang. Terlalu sering mengunjungi tempat makan rumahan ini, membuatku dan ketiga teman lainnya mengenal dekat sosok Bu Endah, yang berkatnya, telah terlengkapilah asupan gizi kami semua selama bekerja di kantor kami.

“Nadiaaa. Duduk Mbak, Ibu bikin punya Mbak Rima dulu, baru habis itu punya kamu.”

Aku mengangguk, sekian detik kemudian, aku telah duduk di samping Sahil yang sibuk dengan ponselnya.

“Buset dah Pak Evan, marah-marah mulu! Kurang apa sih kerja gueee, perasaan ngerjain ini-itu udah bener, tapi tetep aja salah di mata dia!”

Mendengar Sahil marah-marah sendiri, aku mencoba mengintip layar ponselnya yang menyala terang. Terpampang jelas ruang obrolannya dengan seseorang yang dipanggilnya Pak Evan tadi.

“Nggak heran,” ucap Rima menimpali. “Kemarin lewat ruangannya aja, gue liat Mbak Ambar lagi nunduk, Pak Evan-nya nyoret-nyoret apa tau di mejanya.”

“Lagi disidang,” balas Sahil sembari masih fokus pada ponselnya.

Percakapan siang itu terus berlanjut dengan beberapa obrolan panjang menyangkut pekerjaan kami masing-masing, juga beberapa tentang kehidupan pribadi kami yang biasanya jarang kubahas karena tidak ada yang menarik dari hidup Nadia Aziz ini.

Di hari itu, aku pulang dalam keadaan fokus pada ponselku.

Nyatanya kemarahan Pak Evan pada Sahil siang tadi juga berimbas pada divisiku. Aku dan rekan satu divisiku termasuk Rima, jadi perlu mengurusi pekerjaan, di waktu di mana semua kegiatan kecuali menghadapi tugas kantor adalah segala apa yang didambakan.

Lift telah membawaku pada lantai unit apartemenku. Pesan Rima dalam ruang obrolanku bersama beberapa anak divisiku, membubuhkan tawa kecil pada wajahku. Aku hanya terfokus pada ruang obrolan itu tanpa menghiraukan sekitar, tapi aku jelas tahu ke mana kakiku melangkah, karena unitku, yang telah kusambangi ribuan kali tiap harinya, hanya berjarak tiga puluh lima langkah lurus dari lift.

Namun, sebuah suara yang ragu-ragu dari depan sana membuyarkan fokusku pada ponsel. Suara tak dikenal itu tiba-tiba menyerukan namaku. “Na — dia? Nadia kan?”

Kakiku terhenti. Wajahku terangkat. Ponsel di tanganku masih memantulkan sinar redup di wajahku. Mataku tertuju pada sosok yang menyerukan namaku itu. Dan aku benar-benar bergeming di tempatku berdiri.

Di tempat yang sama aku melihatmu beberapa bulan lalu bersama kardus-kardus itu, aku kembali menyaksikan kamu — kali ini dengan keadaan hati yang berbeda.

“Benar Nadia ya? Nadia Aziz? Aku — “

Tak perlu aku tahu kata apa yang selanjutnya ingin kamu ucapkan, aku melanjutkan langkahku yang tinggal lima itu pada unitku dengan tergesa-gesa. Perasaan hatiku merespons ini sebagai hal negatif, ada yang tidak beres dengan kejadian ini, katanya mengonfirmasi.

Berkali-kali kutekan kombinasi angka yang sudah kuhafal betul luar kepala, berkali-kali juga sandi itu gagal kupecahkan. Kamu di depan sana memperhatikanku gelisah dengan wajah bertanya-tanya, dengan tangan yang seakan ingin menggapaiku karena aku hanya sejauh lima jengkal dari jangkauanmu.

Tapi aku berteriak, begitu histeris hingga kamu menarik kembali jemarimu. “JANGAN MENDEKAT!” teriakku dengan pelupuk mata yang dibanjiri air. “Tolong jangan mendekat,” lanjutku lirih. Mungkin hanya aku yang bisa mendengarnya, mungkin kamu juga bisa menangkapnya karena jarak kita.

Napasku tersengal-sengal, dengan jemari yang gemetaran, dan wajahku yang hampir menjatuhkan tangis, kutekan kembali angka-angka itu dengan perlahan.

Begitu kutahu aku berhasil menebak angka, yang sialannya telah kuhafal dengan baik, aku tidak membiarkanmu mengatakan sepatah kata pun lagi, dan membanting pintu unit kamarku.

Di dalam, entah kamu mendengarnya entah kamu telah pergi sejak aku masuk dengan ketakutan, aku meraung dengan hebatnya, menangis dalam keadaan tak tahu diri, ketakutan tak ada habisnya.

Sewindu telah berlalu.

Tiga bulan kemarin ketika aku melihatmu sekilas, kukira rasa takutku padamu telah usai dimakan waktu yang melahap habis memoriku tentangmu.

Namun hari ini, berhadapan langsung dan melihatmu secara nyata berdiri di hadapanku dan memanggil namaku, nyatanya menjadi bukti, bahwa kamu masih dan tetap menjadi mimpi buruk yang membayangiku entah sampai kapan.

--

--