How did It End?: Kamu Ada dalam Sup Kesukaanku

star💫
6 min readMay 5, 2024

--

Campur tangan Tuhan itu nyata, bisikku dalam remang ruang tamuku yang belum kunyalakan sejak aku menangis meraung tadi sore.

Rutinitas apa yang habis-habisan kusinggung di satu halaman kemarin? Rasanya memalukan. Nyatanya hari ini, semua yang selalu kulakukan setelah bertahun-tahun tinggal di sini, rutinitasku tiap pulang bekerja, berakhir putus hari ini.

Tidak ada lagi aku yang langsung mengganti sepatuku dengan sandal rumah begitu masuk. Tidak ada lagi aku yang melempar tasku pada sofa kecil di sudut kamar. Tidak ada lagi aku yang membuang baju-baju kotorku ke dalam mesin cuci.

Semuanya digantikan hanya dalam satu hari. Tujuh menit waktuku ada dalam satu ruang yang sama denganmu, kembali perlu kuulang rutinitasku dari awal lagi.

Kamu jahat sekali, kataku sore itu. Tidak puaskah sosokmu bertahun-tahun menjadi mimpi buruk yang telah mati-matian kulawan itu? Kenapa kamu ikut aku ke tempat ini? Tidak adakah tempat lain, di mana tidak ada aku di dalamnya, yang bisa kamu tinggali?

Tidak kasihankah kamu melihatku seperti ini? Duduk termenung di depan pintu unitku sendiri, menarik-narik lengan knitwear-ku sampai belel, bahkan makeup-ku sudah kusut minta ampun minta dienyahkan dari wajahku.

Namun aku pikir kamu memang tidak mengasihaniku. Seorang Nadia Aziz meminta rasa kasihan dari seseorang yang pernah — selalu jadi mimpi buruknya. Tapi aku memang begitu, orang terakhir yang ingin kujumpai bahkan dalam mimpi sekali pun adalah orang yang selalu membuatku mengemis rasa kasihan darinya.

Lalu apa yang perlu aku lakukan sekarang? Tanganku tidak mau berhenti menarik-narik lengan bajuku, karena aku takut ketahuan gemetaran lagi di bawah naunganku sendiri. Aku takut kakiku akan gemetar dan jatuh kalau aku berdiri, kataku dengan tulang lakrimal-ku yang tiba-tiba kembali memproduksi bulir-bulir bening.

Layar ponselku sudah berkedip sejak tadi. Mungkin Rima, atau Samuel, atau Mas Jidan, yang mempertanyakan keabsenanku dalam ruang obrolan hari itu. Mungkin mereka bertanya-tanya ke manakah si Nadia yang selalu rutin mengecek ponselnya, bahkan di jam dua malam sekali pun, kenapa sore ini jawabannya tak mereka temui satu huruf pun?

Lalu ponselku menyala untuk waktu yang lumayan lama. Kutengokkan wajahku pada benda pipih yang tergeletak tak jauh dariku itu. Kontak dengan nama ‘Olga’ muncul di sana tanpa diduga-duga, dan tangisku kembali hadir. Kurenggut benda itu dengan terburu-buru, tanganku berlomba dengan bulir air yang ingin kembali eksis di sudut mataku.

Olga hadir di waktu yang begitu tepat, dan aku butuhkan sekali.

Dering itu berhenti, dan suara Olga mengalun di telingaku bagaikan air dingin yang menyiram hawa panas dalam tubuhku. “Halo,” katanya di ujung sana. “Nad?

Tapi aku bergeming. Olga yang terus berbicara adalah apa yang aku inginkan saat ini. Aku tidak mau bicara, aku takut menangis, aku hanya butuh seseorang berbicara padaku hingga perasaan takutku padamu lenyap sama sekali.

Nad, gimana kabar lo? Kok bulan ini belom ke salon? Aman tuh kuku kagak meni pedi sebulan?

Olga, ayo terus bicara, mohonku.

Nad, apaan sih lo diem aja!? Ini yang ngangkat bukan Oddie kan? Ddie, kasih hape-nya ke Nyokap luu, ke mana sih Nad, jangan bikin takut ah. Udah pulang kerja kan ya sekarang — “ Suara Olga berhenti beberapa detik. Aku mengulum senyum membayangkan apakah Olga sedang mengecek jam di detik itu pada ponselnya atau pada jam dinding di ruangannya berada saat itu. “Apa lagi ngurus kerjaan? Eh kata gue juga resign ajaaa, mending bantuin gue di salon, Nad —

Dan suara Olga terus bergema di seluruh ruangan unitku.

Suaranya yang menguatkanku untuk akhirnya berdiri dan melepas sepatu, lalu aku kembali mengingat-ingat yang mana yang biasanya aku kerjakan dulu setelah mengganti alas kaki? Kemudian menggantung tas, kemudian memasukkan pakaian ke mesin cuci, kemudian berdiri di bawah shower.

Olga … tidak mempersalahkan diamnya aku karenamu. Olga tidak bertanya ini dan itu, kenapa aku melakukan aksi tutup mulut sepanjang kami bertelepon. Aku yakin Olga mencium sesuatu, tapi dia selalu menghargaiku sejak kejadian mengerikan yang kamu lakukan padaku dulu.

Sore hingga malam itu menjadi hari yang menakutkan untukku setelah tahun-tahun yang damai, dan aku berhasil melaluinya dengan baik berkat sahabatku, Olga.

“Ga, tadi sore gue ketemu Manggara.”

Esoknya aku demam tinggi dalam keadaan sendirian di unitku. Sakit seharusnya di-blacklist dari hidup orang-orang sepertiku, yang tinggal sendirian dan jauh dari orang-orang terdekat. Tapi semalaman aku menggigil, dan wajahmu menghantuiku hingga aku keringat dingin.

Tapi berkat itu, aku terseok-seok meniti langkah pada ponselku yang kutinggal di ruang tamu. Rima atau Samuel atau bahkan Kak Haris — HRD di kantorku, perlu tahu kalau aku demam, dan gambar termometer yang mencapai angka 39 derajat sudah siap kusisipkan pada ruang obrolan.

Notifikasi ponselku penuh, sesuai dugaanku sejak semalam. Meski ketakutan akan eksistensimu di unit samping, aku tetap perlu memikirkan nasib karierku yang telah aku pertahankan sejak lama. Nama Rima sudah pasti yang paling banyak mengirimiku pesan, ada angka 20 pada sisi ruang obrolanku dengannya, lalu Samuel, lalu Kak Jemima, lalu Kak Haris.

Nad, kata Rima lo belom muncul di meja lo, want to tell me the reason? — 11.09 am

“Kak Haris, gue demam dari semalem, belum sempat ke dokter karena nggak kuat kalau harus ke luar, tapi gue ada termometer kalau lo butuh bukti.”

Aku menangis lagi. Nadia Aziz yang telah lama tidak tahu caranya menangis, jadi ketagihan menangis sejak kemarin. Aku meninggalkan banyak tugas hari itu, aku mengacau pada Rima dan teman-teman satu divisiku yang lain, aku berbaring seharian sembari berulang-ulang menonton The Devil Wears Prada ditemani air mata tanpa menelan secuil pun makanan — meski perutku meronta minta diisi.

Tapi jam tiga sore kuputuskan untuk beranjak dari kasur, karena meski aku sakit dan absen hari ini, aku menolak untuk kembali melakukannya besok.

Maka aku membuka aplikasi pesan-antar di ponselku, kupesan semangkuk pho dengan ekstra daun ketumbar yang banyak — aku masih suka itu meski kamu ada dalam sup kesukaanku. Lalu duduk melamun selama setengah jam di atas kloset dengan pikiran melayang-layang.

Aku lupa berapa lama aku mandi, aku lupa pada pho-ku yang sudah kupesan itu. Namun, suara ketukan di pintu begitu aku keluar dari kamar mandi, menyadarkan aku akan perutku yang keroncongan dan pho-ku yang kupesan sebelum masuk tadi.

Kupikir suara ketukan itu datang dari layanan pesan-antar yang mengantar pho-ku, kupikir kurir itu baru saja sampai dan memilih mengetuk ketimbang mencantelkan pho-ku di kenop pintu, kupikir aku benar.

Tapi tidak ada Bapak Kurir, tidak ada seseorang yang tidak kukenal berdiri di luar, tidak ada pho-ku yang masih menguarkan uapnya, hanya seseorang yang telah membuatku ketakutanlah yang melakukannya.

image from pinterest

Aku bergeming di tempatku. Kepalaku memproses kejadian ini, tapi anehnya, aku tidak lebih histeris dari kemarin.

“Nad — “ Suaramu tercekat di depan sana. Bukan rasa bersalah, desisku setelah menilikmu. “Sori kalau aku lancang, tadi di bawah aku ketemu gofood, ternyata mau nganter ke kamar kamu. Jadi aku pikir sekalian aja karena aku mau naik.”

Aku cari-cari perasaan bersalahmu itu, dan berhalusinasi kamu bersujud memohon pengampunan dariku, tapi yang kutemukan hanya kamu yang sibuk menyodorkan tanganmu dengan pho-ku yang ternyata sudah dingin.

By the way, kamu tadi ke mana? Aku nunggu di sini lumayan lama deh, sampe pho-nya dingin — kamu masih suka pho ternyata ya?”

Aku membuka dan menutup mulutku dengan usaha mengeluarkan suara atau mengonfrontasimu di sini, tapi tak ada yang keluar dari bibirku. Payah kamu, Nadia, kamu dengan percaya diri menunjukkan rasa takutmu padanya kemarin sore, tapi menghamburkan amarah saja tidak mampu.

Tapi aku memang pengecut.

Tanganku dengan sendirinya menjulur pada plastik bening yang kamu pegang, kuambil itu dengan kasar, dengan mata yang gemetar hampir menangis lagi.

Apakah kamu buta? Kamu tidak lihat bawah mataku yang menghitam? Tidak lihat kantong mataku yang menebal? Tidak lihat wajahku merah sisa demam semalam? Lalu aku membayangkan lagi apakah perlu kubuka ponselku untuk menunjukkan gambar termometer 39 derajat dan berteriak “AKU SAKIT SETELAH MELIHATMU KEMARIN,” tapi realita membawaku kembali, dan membisikkan bahwa dia tidak peduli apa yang kamu hadapi kemarin, sayangku.

Aku sudah berdamai dengan masa laluku. Bohong, kata suara di kepalaku. Aku telah melakukan aksi tutup mulut selama sewindu, dan menghadapimu seharusnya tidak membuatku membuka suara lagi dan menyebabkan semuanya kembali ke titik awal. Yang kemarin hanya kesalahan, kataku dengan pandangan berputar dan tangan yang memegang pho-ku erat. Aku hanya perlu mengulang apa yang sudah kulakukan selama ini.

Dan pintu unitku kututup begitu saja.

Tidak ada kata terima kasih, tidak ada perasaan bersalah membuatmu menunggu lama di depan unitku, tidak ada lagi interaksi yang akan aku lakukan denganmu esok hari.

Yang kemarin adalah yang terakhir. Dan aku memutuskan untuk kembali tidak mengenalmu.

--

--