How did It End?: Dua Orang yang Saling Menyapa

starđź’«
6 min readMay 23, 2024

--

content warning: harsh word

Tapi kulihat, semakin hari semakin kamu berusaha ada dalam pandanganku.

Kamu memang tidak pernah peduli padaku, kataku yang melihatmu bersikeras muncul di hadapanku. Aku menyadari betapa tidak peduli dan acuhnya kamu terhadapku, terhadap semua gelagatku yang telah kamu saksikan pada hari-hari kemarin.

Aku tantrum di hadapanmu kemarin, seharusnya otakmu bilang kalau Nadia, yang seharusnya sudah tidak kamu temui itu, tidak nyaman dengan kehadiranmu. Tapi kamu bodoh, kamu orang paling bodoh yang pernah aku kenal. Kamu berpikir apa sih sampai masih berani menemuiku begitu? Setelah bertahun-tahun, berkali-kali kukhayalkan kamu sudah cukup waras dan tahu diri tidak lagi muncul, nyatanya malah semakin bodoh dan berpikir mungkin Nadia mau sekali lagi berteman denganmu.

Aku tidak pernah merasa terlalu percaya diri menuding kamu sengaja menampakkan diri di depanku, karena kamu memang benar melakukannya, dan aku tidak membual ketika kubilang begitu.

Rasanya tiap aku buka pintu unitku, detik itu juga kamu muncul dari balik pintumu. Aku menyaksikan kamu berkali-kali dengan sengaja melangkah di hadapanku, pada banyak kesempatan yang seharusnya tidak ada kamu di dalamnya. Kamu berkali-kali mencoba menguntai percakapan di antara kita. Kamu bilang ini dan itu, seperti “aku barusan jogging, Nad. Ternyata lingkungan di sini oke juga ya,” atau “eh Nad, mau buang sampah nih,” layaknya kamu memang sejak awal berniat begitu, layaknya aku dan kamu adalah dua teman dekat yang saling menyapa.

Apa sih yang ada di pikiranmu itu? berkali-kali kutanyakan itu pada diriku sendiri. Mencari perhatianku sebegitunya, selayaknya aku amnesia bersamamu dalam mengingat masa lalumu dan aku yang buruk.

Kepalamu memang sepertinya pernah terbentur di suatu tempat lalu kamu amnesia ya? kamu seperti lupa segala hal kecuali fakta tentang kita yang bertetangga, karena kamu terus-terusan muncul di hadapanku.

Lalu hari itu kamu kembali begitu, kembali muncul di depan unit kita. Aku celingukan ke sana kemari mencari di mana letak cctv-nya, sekiranya aku direkrut mendadak untuk syuting reality show, kamu kan orang gila — siapa tahu kamu memang penguntit jahat yang mengintipi setiap kegiatanku hingga tahu-tahu saja kapan aku pulang dan keluar dari unitku.

“Nad,” panggilmu yang melihatku buru-buru menekan sandi unitku. “Kamu — “ hentimu tercekat. “Kamu ada acara nggak malam ini? Kak Neisya — “

Tapi tidak kubiarkan kamu menyelesaikan ucapanmu. Meski aku takut sekali dapat teguran dari tetangga-tetangga kita yang lain, akan kegaduhan yang selalu kubuat jika menyangkut kamu sejak hari-hari kemarin, aku tetap membanting pintu unitku di depan wajahmu. Apa maksudnya kamu bawa-bawa nama kakakmu? Kamu masih waras tidak sih, bawa-bawa orang dari masa lalu kita begitu? Tidak pernah ada lagi tempat untuk semua kerabatmu yang pernah aku kenal di masa lalu.

Aku dan kamu telah selesai sewindu yang lalu, kataku yang tetap berdiri di depan pintu unitku.

Lalu sorenya, seperti janji yang telah kubuat dengan Olga, Olga datang ke unitku. Kegiatan seperti ini selalu kami lakukan bahkan sejak kami masih di menengah akhir. Sebulan, atau bahkan seminggu sekali, kami rutin mengunjungi tempat satu sama lain — lebih banyak kami lakukan di rumah Kamelia (sahabat kami yang lain).

Kali ini, Olga datang ke tempatku setelah kuceritakan kamu tinggal di samping unitku. Dia dengan sadis memelototi pintumu yang tertutup rapat itu. Najis, katanya. Lalu cuh, seakan dia tengah meludahi pintu milikmu.

“Gila ya tuh orang.” Adalah kalimat pertama yang Olga lontarkan pada detik pertama pintu unitku tertutup, dan hanya ada kami berdua serta Oddie — landakku — di unitku.

Sebetulnya, pertemanan kami terdiri dari tiga orang. Seperti yang sudah kusinggung barusan, aku dan Olga punya seseorang bernama Kamelia yang telah jadi sahabat kami untuk kurun waktu yang begitu lama. Banyak orang yang bilang jika pertemanan kami tidak akan berjalan lama, kalian berteman bertiga? Yah, tidak akan lama sih, begitu kira-kira yang orang lain ucapkan jika-jika melihat kami. Namun nyatanya, kami tetap bersama. Meski Kamelia kini telah menikah dan punya seorang anak yang lucu, dan Olga sering bolak-balik Jakarta-Bandung untuk pekerjaannya, lalu aku yang lebih sering lembur ketimbang mengurusi Oddie, kami tetap berteman.

“Kok bisa-bisanya ambil unit pas banget sebelah lu, terus udah tau lo tinggal sebelahnya, bukannya pindah malah lanjut part dua!” Olga lalu membanting tubuhnya ke atas sofa kecilku. “Udah hilang kayaknya rasa malunya. Stres dikit mah ada dia, Nad,” ocehnya sambil menyaksikanku membuat minum untuknya di dapur. “Harusnya dia join lo ke psikolog, anjir.”

“Off-side, off-side! Kagak usah bawa-bawa psikolog deh, kalau lo aja masih langganan.”

Olga menyengir lebar di duduknya, memutuskan menyetel proyektor yang telah terhubung ke laptopku. Kubiarkan dia melakukan apa pun pada barang-barangku. “Kayaknya dia memang sengaja begitu deh, Nad.”

“Sengaja gimana?” Aku mengaduk air gula pada lemonade yang barusan kubuat, kutuang ke gelas untuk kuserahkan pada Olga. “Kita literally udah nggak contact-an lama. Nggak mungkin lah dia sengaja buat ambil unit samping — mana tau dia gue tinggal di sini.”

Olga menghela napas mendengar pemaparanku. “Nad, dia kan orang gila!?”

“Tau kok.” Aku menghampirinya, mengambil alih laptop untuk memutar film yang sudah kami rencanakan untuk ditonton, semalam.

“Bisa aja sebelum pindah, dia kepoin lo dulu?”

Aku tertawa terbahak-bahak kali ini. Lucu sekali Olga. Kamu dengar itu? Aku bahkan bingung harus kasih Olga reaksi seperti apa, karena kuyakin kamu tidak akan mau repot-repot mencari kabarku lagi. “Ga, come on. Delapan tahun, Olga, delapan tahun. Gue bahkan sanksi, dia selama ini masih ingat ada orang yang namanya Nadia Aziz.”

“Ya tapi — “

“Shh, stop.” Aku menyela ucapannya. “Lo datang ke apart gue cuma mau bahas dia lagi nih? Kayaknya pernah ada yang bilang kalau dia tuh di-blacklist dari hidup kita deh. Lo mau gue ladenin dia lagi tiap gue sama dia papasan, apa gimana nih, Ga?”

“HEH! Nyebuttt.”

Dan percakapanku dengan Olga tentangmu, benar-benar berhenti di sana. Kedatangan Olga ke unitku bertujuan untuk melepaskan tentangmu dari pikiranku saat itu. Jadi, akan tidak ada artinya jika aku dan Olga tetap berakhir menjadikanmu topik pembicaraan. Sore itu, kami putuskan untuk melakukan panggilan video pada Kammy, setelah menghabiskan satu film dan menyeruput lemonade.

Kamu benar-benar harus enyah selamanya. Namun, aku masih mengawang tentang fakta bahwa Tuhan membawamu kembali ke hidupku.

Apa rencana-Nya?

Dan aku tidak pernah berbohong ketika kubilang kamu terlalu bersikeras muncul di hadapanku, karena kamu tiba-tiba kembali hadir di lobby apartemen kita, dan berakhir bertemu Olga yang — kamu tahu — selalu punya sentimen negatif terhadapmu.

Sudah kubilang, tolong kasihani aku sedikit saja.

“Nad.” Lalu dengan tidak tahu malunya, lagi-lagi kamu menyapaku, layaknya kita dua orang yang saling menyapa.

Tentu saja Olga terperangah akan kedatanganmu di tempat itu. Wajah Olga yang selama ini menyebalkan, malam itu menjadi dua kali — bahkan tiga kali — lipat lebih menyebalkan.

Aku tidak begitu ingat apa saja yang Olga lakukan terhadapmu, karena aku sibuk melerainya yang habis-habisan mencaci makimu selayaknya kamu adalah penjahat dalam hidupnya. Kuingat sekilas juga, Olga menghantammu dengan tas jinjingnya yang kutahu menyimpan segala macam hal yang dia pikir perlu dibawanya — jadi kutahu pelipismu lebam malam itu, entah terketuk pengisi daya ponselnya, entah satu set alat manikurnya, atau buku catatannya yang cukup tebal itu. Badanmu yang tinggi besar, seakan kalah dengan Olga yang ramping. Dan anehnya, kamu diam saja.

“Lo!” Kuingat, dia berteriak sambil menunjuk-nunjukmu dengan kukunya yang berlapis cat merah darah dan hitam. “Jangan pernah lo sok akrab lagi sama Nadia. Ngentot! Nggak puas lo ninggalin dia buat cewek lain!? Berani-beraninya masih punya muka buat ketemu Nadia!”

Teriakan-teriakan Olga malam itu, dihentikan oleh taksi daringnya yang berhenti di depan kita. Aku lihat napas Olga yang berantakan. Aku tahu dia amat membencimu. Olga begitu tamak dalam membencimu, hingga dia enggan untuk menyisakan emosi itu untukku — yang tertinggal dalam diriku sekarang hanya rasa muak, ketakutan, dan sakit hati yang kupikir melekat sampai kapan pun di sana.

Setelah Olga pergi, aku diam beberapa saat di sana. Duduk di tangga lobby untuk menenangkan perasaanku yang kembali kalang kabut. Tapi kamu juga tetap di sana. Kamu berdiri di sebelahku, seolah-olah kamu mendengarku berteriak temani aku malam ini di sini, tolong cegah aku melakukan hal-hal buruk.

“Nad — Olga.” Suaramu lagi-lagi tercekat. “You never told her — everyone — the truth?”

“You, who left me for another woman, is also the truth.” Kali ini, kuberanikan diri untuk berbicara lagi padamu. “Or … or — “ Tapi aku juga tercekat. Aku tercekat, karena nyatanya aku tetap ketakutan berbicara denganmu. “You want me to tell ’em the actual you …, Monster?”

--

--