An Ending They Regret

star💫
4 min readAug 3, 2024

--

“Halo. Haskar?”

Haskar merasa baru saja terpejam beberapa menit saat telepon genggamnya yang tak pernah ia letakan jauh, berdering. Kontak dengan nama ‘Mbak Asta’ adalah apa yang terpampang di layar persegi panjang itu.

Setelah mengumpulkan nyawanya yang seakan masih mengawang selama beberapa detik, Haskar akhirnya menempelkan ponselnya ke telinga, menjawab sapaan hangat perempuan di seberang sambungan itu. “Iya, Mbak? Kenapa?” Ia melirik sekejap jam beker yang duduk di mejanya. “Masih pagi kok udah ganggu gini.”

Mendengar sindiran milik Haskar, Asta bukannya tersinggung malah menyemburkan tawa. Tawa itu sampai pada telinga Haskar yang menyimak dengan malas. “Tau aja Mbak mau ganggu kamu!” jawabnya semangat setelah tawanya reda. “Gini, Kar. Mbak mau minta tolong kamu nanti malam ketemu Gita — “

“Mbak.” Belum habis Asta menyuarakan maksud dari berderingnya ponsel Haskar di pagi itu, sang empunya telah memotong kalimat Asta. “Mau sampai kapan Mbak begini?” tanya Haskar yang maksudnya jelas-jelas telah dihafal Asta sejak dua tahun lalu.

Namun, bukan Mbak Asta jika perempuan itu mau mendengarkan maksud Adik laki-laki satu-satunya tersebut. Asta malah menghela napas lelah di ujung sana, suntuk sendiri dengan penolakan Haskar yang telah diterimanya berkali-kali itu. “Kar.” Mbak Asta memulai kembali. “Kamu juga mau sampai kapan kayak gini?”

Haskar bungkam di atas seprainya yang masih berantakan. Lelaki itu memijat tulang hidungnya karena kepalanya mendadak pening begitu saja.

“Kar, liat Mbak, liat Mas Abi, liat Nai.” Selaras Mbak Asta yang mengabsen kedua saudaranya yang lain, bayangan keluarga kecil milik dua kakak serta adiknya mengudara mengisi kepalanya. Mas Abi yang telah menikah bahkan sejak lelaki itu baru saja lulus dari kuliahnya; kini telah memiliki si kembar Jingga dan Lingga. Adik bungsunya, Naina, yang tiga tahun lalu dipersunting lelaki bernama Noah kini tengah mengandung anak pertama mereka. Serta Mbak Asta sendiri yang kini punya Shaqueel kecil setelah menikah beberapa tahun lalu.

“Mbak, sebagai anak perempuan tertua khawatir, Haskar. Mas Abi juga. Gimana kita bisa lepas tangan gitu aja, Kar, saat kita liat adik laki-laki kita satu-satunya hidup kayak gini?” Suara Mbak Asta yang sejak awal menggebu-gebu, luruh juga. Suaranya kini perlahan melirih, senada dengan kalimat yang baru saja ia sampaikan.

“Mbak …” Haskar mengusap wajahnya frustasi. Sefrustasi dirinya yang tak jua dapat menemukan tujuan hidupnya yang sedang menghilang, tujuan hidupnya yang sebenarnya. “Mbak, aku nggak iri, sama sekali nggak mempermasalahkan kalau kalian bertiga udah hidup berkeluarga. Aku juga senang kok main sama Jingga-Lingga, sama Shaqueel.”

“Kamu ngerti maksud Mbak, Haskar.”

“Mbak juga pasti udah ngerti maksud aku, bahkan sejak pertama kali aku jawab kayak gini ke Mbak atau ke Mas Abi atau bahkan ke Nain.” Haskar membalikkan kalimat kakak perempuannya. “Aku gak bisa, Mbak, aku belum bisa.”

Mbak Asta di ujung sana menghela napasnya berat. Terdengar sesegukan kecil lolos begitu saja. Padahal Asta tidak ingin Haskar mendengarnya kembali menangisi adiknya itu, tidak mau membuat Haskar lebih terbebani dari ia yang memintanya segera meminang seseorang setelah kegagalannya bersama Shia beberapa tahun lalu.

“Haskar … tolong bantu Mbak dan Mas Abi …”

Haskar membiarkan kesenyapan menenggelamkan keduanya selama beberapa saat, untuk kemudian, menghela napas sama beratnya dengan kakak perempuan satu-satunya itu. “Haskar mohon maaf, Mbak. Haskar belum bisa, Haskar belum ketemu Narcissa … Mbak juga tolong Haskar, Haskar nggak bisa kalau nggak sama Narcissa.”

“Kamu mau sampai kapan nyari dia, Haskar? Mbak bahkan sangsi dia masih kenal kamu setelah lima tahun lewat gini. Atau bahkan dia udah benar-benar lupain kamu, Kar, udah gantiin kamu sama laki-laki lain.”

“Mbak.” Suara Haskar mendalam. Agak kesal mendengar Mbak Asta berbicara begitu ketika kenyataannya, perempuan itu adalah yang dulu begitu bersemangat akan perjodohan Haskar dengan Shia, yang nyatanya tidak seserius itu untuk menjalin hubungan pernikahan hingga semuanya gagal di tengah jalan.

“Aku tutup teleponnya. Tolong jangan hubungin aku buat dijodoh-jodohin sama Gita ini Gita itu, aku gak minat.” Haskar melirik layar ponselnya sekejap untuk melihat apakah dirinya masih tersambung dengan kakaknya atau tidak. “Aku nggak mau Mbak ikut campur lagi sama keputusanku. Amanah Mbak sama Mas Abi ke Ibuk dan Abah pasti bakal aku jalanin, gak usah takut aku gak akan nikah. Tapi aku mau cari Narcissa dulu. Aku mau mastiin dia betul-betul bahagia sama kehidupannya yang udah aku — keluarga kita hancurin atau nggak.”

“Kamu terlalu percaya diri, Kar — “

“Aku nggak peduli. Rasanya nggak adil kalau saat itu aku ngerasa bahagia karena merasa akhirnya lepas dari ikatan rumit itu, sedangkan Cissa nggak. Aku yang bikin kesalahan, aku yang ninggalin dia buat sama Shia. Aku juga yang harus mastiin semuanya baik-baik aja atau nggak, sebelum aku ikhlas Mbak sodorin Gita-Gita yang lain. Aku nggak mau jadi pengecut buat yang kedua kalinya, Mbak.”

Dan telepon itu ditutup dengan Asta yang tidak dapat membalas satu kalimat pun sama sekali. Namun, Haskar memang harus melakukannya alih-alih membuat kekecewaan untuk yang kedua kalinya.

it’s a draft i save for year, and has no beginning or end. it’s just my thought of a relationship that has ended, but the male lead still want to work on it.

this story is the relationship between Andi Haskar Yudistira and Eira Narcissa Pollan

--

--